Kamis, 23 Oktober 2008

PRODUCT PROFILE II


CD PROMOSI " PRODUCT & COMPANY PROFILE MODEL WEB "

Kegiatan pemasaran memerlukan energi yang sangat besar selain adcost lainnya. Pemasaran secara mouth to mouth merupakan impian para produsen, tentunya harus dibarengi konsekwensi produsen untuk menciptakan “personal” marketing mouth to mouth yaitu dengan cara memberikan kepuasan sesuai kebutuhan dan keinginan “tenaga marketing“ tersebut.

Beberapa kendala yang di hadapi oleh rata-rata perusahaan adalah :
Belum atau masih samarnya pembagian tugas sub divisi yang dikarenakan terbatasnya jumlah dan kapasitas SDM dan atau keuangan perusahaan, sehingga satu orang ‘dipaksa’ melakukan beberapa tugas divisi atau bahkan sering dijumpai merangkap divisi lain seperti produksi ( membuat penawaran produk ) hingga menjadi tour leader atau tour guide.
Maka hasilnya, pencapaian target market hampir nyaris tak tersentuh karena senantisa mengharapkan walking guest dari hasil media iklan saja, sehingga peningkatan jumlah pelanggan tidak begitu menggembirakan.

Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana pesan dapat sampai ke sasaran pasar guna. Disini diperlukannya tingkat kreatifitas yang tinggi, yaitu bagaimana materi bahan promosi dapat diterima langsung ke target pasar melalui presentasi penggalian motif pembelian produk perusahaan tour & travel hingga pemahaman pelanggan terhadap perusahaan tour & travel terukir jelas di benak target pasar.

PRODUCT & COMPANY PROFILE dibuat dalam interface model web yang disimpan ke dalam Compact Disc ( CDR ) ini memiliki kelebihan-kelebihan dibanding dengan model presentasi lainnya, antara lain :

1. Autorun ; file index.htm langsung dibaca oleh personal computer pada saat dimasukkan ke dalam DVD /CD-R maupun DVD / CD-RW. Bilamana halaman ini diberi backsound, maka akan langsung terdengar mussic yang menjadi warna dinamis perusahaan Anda.

2. Kapasitas Byte Hingga 4.500 MB ; mampu menampung berbagai informasi produk secara lengkap mulai dari text microsoft world, excel, animasi gambar JPEG / movie, GIF, flash, file mussic.mid dan data informasi lainnya hingga kapasitas 4,5 Gb.

3. Click Onmouseover Operating ; tampilan gambar belum berubah bilamana pengguna belum klik ke tombol menu navigasi ( onmouseover ). Hal ini lebih memanjakan pengunjung untuk menyimak secara detail sesuai waktu yang ia inginkan tanpa harus kehilangan informasi penting lainnya.

4. Biaya Promosi Lebih Murah ; berdasarkan informasi yang kami terima pada bulan Agustus 2008 bahwa pembuatan CD promosi ( burning cd, cd label, cd cover ) biayanya mulai dari Rp.6.000,- per keping.

5. Permorfa Perusahaan Lebih Meningkat ; meskipun dengan biaya Rp.6 ribu per keping per target customer, namun melalui kemasan luar dan isi yang dibuat tidak membosankan akan mampu menarik simpati calon pelanggan dibanding dengan promosi model hard copy.

BIAYA PEMBUATAN SANGAT MURAH

1. Rp.350.000,- untuk biaya pengolahan database
2. Rp.10.000,- untuk pembuatan satu animasi gif
3. Rp.25.000,- untuk pembuatan satu animasi flash
4. Rp.5.000,- untuk pembuatan setiap tampilan ( interface ) model web
5. Rp.50.000,- untuk biaya dan pengiriman CD serta komunikasi

CARA PEMESANAN

Kirimkan data produk, informasi perusahaan berupa text, gambar atau video dan sertakan sketsa / lay out banner, menu, contents dalam file ms.word sesuai selera Anda dan tentukan jumlah halaman, jumlah gif dan/ atau flash yang hendak ditampilkan ke dalam CD promotion, kemudian copy ke CD-R ke alamat : Biwaddo Hartoko, Jl. Kalimantan Raya 297 Gedang Asri Ungaran Semarang.

Harga :
Budget yang Anda berikan akan sesuai dengan nilai kepuasan produk yang diterima.

Pembayaran melalui Bank Bukopin Cabang Utama Semarang, no rek : 1801042982, an. BIWADDO HARTOKO, SE.
Guna memudahkan informasi, mohon pengiriman uang ditambahkan nominal ratusan unik, contoh Rp.150.127,-

ARTIKEL OPINI PUBLIC

OPINI PUBLIC DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI

Pembentukan opini publik sebagai bentuk manifestasi kebijakan politik luar negeri sebuah negara dapat dikategorikan sebagai sebuah soft-power yang berjalan beriringan dengan hard-power. Hard-power disini dapat diartikan sebagai kekuatan persenjataan atau kekuatan diplomasi dari suatu negara di tataran internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan soft-power adalah kekuatan negara dalam membentuk sebuah paradigma yang akan mendukung terlaksananya sebuah kebijakan politik luar negeri.

Media pelaksanaan dari soft-power ini antara lainnya terdiri dari peran media internasional, budaya dan pendidikan. Konsiderasi dasar bagi sebuah negara dalam menerapkan praktik pembentukan opini publik berangkat dari sebuah asumsi bahwa publik merupakan entitas yang sangat sulit untuk dikendalikan. Dengan demikian, opini publik dirasa penting pula untuk dikuasai, dengan pertimbangan bahwa segala bentuk kebijakan politik luar negeri yang akan diterapkan oleh suatu negara harus mendapatkan dukungan yang kuat dari publik. Selain itu, opini publik merupakan mekanisme yang sangat kuat dalam menguasai paradigma publik internasional tentang suatu kebijakan politik luar negeri yang akan diambil.

Jadi, pada akhirnya, apabila opini publik internasional telah dapat dikuasai, maka aktor negara akan mendapatkan 2 keuntungan utama. Pertama, proses pembuatan dan perumusan kebijakan politik luar negeri negara tersebut tidak akan melalui sebuah proses yang sulit. Hal ini disebabkan oleh karena values yang berada di tataran paradigma publik telah dikuasai secara signifikan oleh negara itu. Kedua, keputusan kebijakan politik luar negeri juga akan dapat diimplementasikan secara optimal, karena telah tercapainya faktor pertama dengan baik.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah mengenai bagaimana cara yang efektif bagi suatu negara dalam menguasai suatu opini publik. Dalam kasus ini, aktor media merupakan aktor yang memiliki akses terbesar dalam menguasai opini publik masyarakat. Contoh konkretnya antara lain dapat terlihat dalam kasus Al-Jazeera. Sejak tenarnya stasiun televisi ini pada tahun 2003 dengan memberikan pemberitaan yang berbeda dari media internasional lainnya mengenai perang Irak, kantor berita ini dapat dikategorikan sebagai pembentuk opini publik oposisi yang paling kuat di tataran dunia internasional, selain CNN dan BBC. Bukti pembentukan opini publik dari Al Jazeera antara lainnya terlihat dalam acara The Opposite Direction yang di-anchored oleh Dr. Faisal Al-Qassim.

Di berbagai episodenya, Dr. Qassim mengundang tokoh-tokoh dengan latar belakang yang berbeda dan cenderung kontroversial. Di salah satu episode dari The Opposite Direction, Dr. Qassim membawakan tema “Are Hezbollah are Resistance or Terrorist?”, dengan dihadiri oleh dua scholars dari Mesir dan Lebanon. Episode ini kemudian berdampak pada kecaman dari berbagai negara Arab seperti Suriah dan Mesir karena menganggap Al Jazeera memprovokasi masyarakat Arab lainnya untuk menganggap Hezbollah sebagai freedom-fighter dibandingkan sebagai rebellion.

Meskipun tidak menjadi afiliasi negara apapun, termasuk Qatar, perilaku yang dicerminkan oleh Al Jazeera ini setidaknya telah membuat Suriah dan Mesir harus mengkalkulasikan kebijakan politik luar negerinya sebagai akibat dari adanya opini publik yang ditimbulkan oleh stasiun televisi tersebut. Dalam konteks yang lain, Amerika Serikat juga mempunyai kekuatan media yang sangat kuat. Kekuatan ini berada di bawah United States Information Agency (USIA), dengan VoA yang menjadi vanguard dari pembentukan opini publik internasional. Dalam kasus ini, USIA berperan secara aktif sebagai alat dari pemerintahan Amerika Serikat untuk menguasai opini publik masyarakat internasional.

USIA merupakan representasi dari apa yang disebut sebagai mekanisme soft-power AS dalam melancarkan kebijakan politik luar negerinya. Pada akhirnya, berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan media dalam pembentukan opini publik internasional sudah sepertinya layaknya konsepsi dari von Clausewitz mengenai perang. Apabila Clausewitz menyatakan bahwa perang merupakan bentuk lain dari kebijakan politik luar negeri suatu negara, maka keberadaan media dapat dianalogikan sebagai bentuk lain dari penguasaan opini publik untuk mendukung pelaksanaan suatu kebijakan politik luar negeri dari negara yang bersangkutan.

Senin, 13 Oktober 2008

Editorial 2

Mematahkan Belenggu BBM

BELENGGU bahan bakar minyak terhadap sistem kehidupan dan perekonomian Indonesia sangat kuat. Celakanya, belenggu BBM itu semakin lama semakin mematikan. Karena itu, diperlukan keberanian luar biasa untuk mematahkan belenggu tersebut.

Perekonomian Indonesia dibangun dan dimanjakan kelimpahan minyak sejak 1970-an. Kita berperilaku--sampai sekarang--seperti negara kaya minyak. Padahal, faktanya kita telah menjadi importir minyak sejak akhir 1980-an.

Kemanjaan itu terlihat sangat jelas sampai sekarang. Yaitu Indonesia tetap bertahan sebagai anggota OPEC--organisasi negara-negara pengekspor minyak--padahal kita telah kehilangan status sebagai pengekspor.

Perilaku sebagai negara kaya minyak dipelihara melalui kebijakan subsidi BBM hingga saat ini. Dalam APBN 2008 yang telah diperbarui, subsidi BBM mencapai Rp126,8 triliun.

Padahal dari waktu ke waktu, ketika harga minyak bergejolak, subsidi BBM menjadi bumerang.

Tatkala harga minyak sekarang mulai menyentuh US$120/barel, lonjakan subsidi BBM bisa mencapai Rp250 triliun. Itulah angka yang mematikan bila terus dipelihara.

Dengan posisi sebagai importir, tidaklah masuk akal Indonesia mempertahankan kebijakan subsidi BBM. Negara biasanya memberi subsidi pada barang-barang yang ketersediaannya melimpah ruah. Air minum, misalnya, bisa disubsidi karena kita memiliki sumber yang banyak.

Yang amat menggelikan, Indonesia menempuh subsidi BBM yang persediaannya semakin langka. Subsidi itu pun dibakar mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya tanpa banyak makna bagi kemaslahatan publik.

Jadi sangat jelas, subsidi BBM adalah kebijakan bunuh diri. Namun, pemerintah seperti kehilangan akal untuk mematahkan belenggu itu.

Begitu parahnya belenggu BBM, pemerintah tidak saja kehilangan akal secara substansial, yaitu menaikkan atau menghapus subsidi, tetapi juga kehilangan akal dalam cara menyampaikan kebijakan.

Belum tahu kapan diumumkan, pemerintah sudah memberi sinyal bahwa BBM akan naik sekitar maksimal 30%. Apa akibatnya? Pasar yang memperoleh sinyal itu segera menaikkan harga barang kebutuhan sesuai dengan perhitungan sendiri. Ketika harga BBM dinaikkan secara resmi, pasar menaikkan lagi harganya. Jadi, untuk satu kenaikan harga BBM rakyat memikul beban dua kali. Itu kesalahan prosedur yang fatal.

Belenggu BBM mungkin terlalu sulit dan riskan untuk dihapus serentak. Namun, opsi tentang penghematan tidak pernah dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Semua penghematan BBM yang disuarakan beberapa kali adalah penghematan sebatas omongan belaka. Dalam praktik, tidak dilaksanakan, terutama oleh pemerintah sendiri.

Lalu tentang energi alternatif. Itu juga kebijakan yang tidak jelas skema, sasaran, dan operasionalnya. Rakyat di sejumlah daerah diiming-iming menanam jarak pagar, tetapi tidak jelas akan dijual ke mana dan diproses pabrik apa. Akibatnya, biji jarak membusuk dan rakyat membasmi tanaman jarak karena tidak memberi kontribusi pada kesejahteraan.

Penghematan BBM di sektor transportasi publik juga tidak dilaksanakan. Proyek kereta bawah tanah di Jakarta baru sebatas omongan selama dua dasawarsa. Monorel terancam jadi besi tua.

Belenggu BBM hanya bisa dipatahkan dengan keberanian luar biasa, yaitu tidak ada lagi subsidi BBM dalam perekonomian Indonesia mulai sekarang dan seterusnya. Untuk mematahkan itu diperlukan pemimpin yang juga berani luar biasa.

Editorial 1

Penanggung Jawab Minyak Indonesia

DALAM 10 tahun terakhir, dunia perminyakan Indonesia tidak terlepas dari sosok Purnomo Yusgiantoro. Dialah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dia menduduki jabatan ini sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri sampai dengan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini.

Krisis yang sedang melanda negara ini sekarang berkaitan erat dengan pergerakan harga minyak di pasar dunia yang sama sekali berada di luar kemampuan kita untuk mengendalikannya. Namun, menurut kalkulasi pemerintah, krisis minyak yang memaksa kenaikan harga BBM tidak terelakkan disebabkan ketidakmampuan Indonesia meningkatkan produksi minyak mentah.

Di sinilah sesungguhnya malapetaka itu. Realisasi produksi minyak mentah atau lifting Indonesia selama ini tidak pernah melampaui angka 1 juta barel per hari. Tetapi, anehnya, dalam proyeksi penerimaan APBN, minyak mentah Indonesia selalu diasumsikan berada pada tingkat di atas 1 juta barel per hari.

Produksi minyak yang terus merosot, sekarang sekitar 900 ribu barel per hari, terjadi bersamaan dengan optimisme pemerintah yang tinggi bahwa di dalam perut bumi negeri ini tersimpan minyak mentah berlimpah. Lelang blok-blok eksplorasi terus diobral, tetapi hasilnya tidak memuaskan kalau tidak mau dikatakan nihil.

Antara keyakinan pemerintah dan realisasi produksi tidak sejalan. Kita tidak saja dirundung malapetaka harga minyak yang tidak terkontrol, tetapi juga dihajar bencana pembayaran cost recovery yang amat mahal.

Jadi, dalam dunia perminyakan, Indonesia menderita tiga kali. Menderita karena produksi yang terus merosot. Menderita karena harga yang tidak terkontrol. Dan dihajar lagi penderitaan oleh cost recovery yang mencekik. Para analis berpendapat, Indonesia akan menghadapi bencana sosial hebat bila harga minyak menyentuh US$150 per barel.

Bila tren sekarang tidak terbendung, harga US$150 per barel akan terjadi tahun ini juga. Harga minyak sekarang bertengger pada kisaran US$120 per barel.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil tanggung jawab luar biasa berani ketika memutuskan untuk menaikkan harga BBM dalam waktu dekat. Luar biasa berani karena keputusan menaikkan harga BBM mengingkari janji Presiden sebelumnya.

Pada titik ini, sudah sepatutnya kita bertanya, siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab dalam kegagalan produksi minyak Indonesia?

Ketika asumsi APBN dikoreksi berulang kali, seakan-akan kegagalan itu adalah tanggung jawab Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian. Belum pernah kita mendengar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan bertanggung jawab atas kegagalan lifting minyak Indonesia. Kegagalan yang menjerumuskan bangsa dan negara ke bencana yang mengerikan.

Kita tidak tahu apakah Presiden pernah meminta pertanggungjawaban dari menteri yang satu ini atas kegagalan produksi minyak nasional.

Advetorial 2




Jual Besi Bekas Eks- Kapal TankerSy pemilik besi/iron/scrap exs kapal tanker di IndonesiaDgn gross netto :12600 tonAkan saya jual 2000 rupiah saja per/kilogramKontak owner di Indonesia ,Jakarta number hand phone: 021-92597906 - Suci Sundari

Advetorial 1

Tabloid Planet Badminton Edisi Terbaru

HOT LINE :
Suci Sundari, 021 - 92597906
E-mail: suci.sun@gmail.com

Marketing & Distribusi :
Jl H. Kelik No.25 Kelapa Dua Raya,
Kebon Jeruk - Jakarta.
Phone: 021 - 5324774 (Hunting),
Fax: 021 - 5322834.
Cover Planet Badminton

Press Release 2

Peluncuran Laporan 2008
Transparansi Pendapatan di Perusahaan Minyak dan Gas


Sebagai perusahaan minyak milik negara, Pertamina perlu didorong untuk menerapkan transparansi dan akuntabilitas secara konsekuen, dan menciptakan suasana kondusif dengan pemerintah untuk penerapan prinsip-prinsip Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI). Dengan demikian diharapkan pemanfaatan hasil minyak dan gas bumi, dapat dikelola secara maksimal oleh Pertamina untuk kemaslahatan rakyat banyak, sehingga kekayaan sumber daya alam ini tetap menjadi berkah dan tidak berubah menjadi ”kutukan”.

Selama ini kekayaan sumber daya alam yang dimiliki sebuah negara, tidak selalu berarti kemakmuran bagi rakyatnya. Di dalam banyak kasus, kekayaan sumber daya tersebut, yang gagal dikelola secara baik, transparan dan akuntabel, menjadi sumber bencana bagi masyarakat, yang terperangkap dalam perebutan sumber daya tersebut, yang menciptakan situasi ekonomi pemungut rente, korup, bahkan tidak jarang berujung konflik, pelanggaran HAM dan kemiskinan. Kekayaan alam menjadi kutukan akibat tidak ada tata kelola sumber daya yang baik, yang salah satu elemen pentingnya adalah transparansi penerimaan pemerintah dari sektor tersebut.

Report on Revenue Transparency of Oil and Gas Companies, produk utama dari Project Promoting Revenue Transparency, yang kami luncurkan pada hari ini, terlahir dengan dijiwai oleh semangat penerapan transparansi pendapatan negara dari sektor industri ekstraktif. Dalam konteks laporan ini, industri esktraktif meliputi minyak dan gas bumi. Di laporan ini, Transparency International (TI) melakukan evaluasi terhadap kebijakan, sistem manajemen dan performa dalam area-area yang relevan dengan transparansi pendapatan sektor hulu di 42 perusahaan minyak dan gas bumi terkemuka. Transparansi pendapatan dalam laporan ini meliputi tiga area kebijakan korporasi: pembayaran kepada pemerintah di mana perusahaan beraktifitas, operasi dan program anti korupsi perusahaan. Bagi perusahaan minyak milik negara, satu kategori lain ditambahkan, yaitu regulasi pengadaan barang dan jasa.

Salah satu perusahaan yang dievaluasi dalam laporan ini adalah Pertamina. Survei ini tidak menempatkan perusahaan minyak bangsa kita ini dalam posisi yang membanggakan. Pertamina, bersama 16 perusahaan minyak lain, baik perusahaan minyak milik negara (National Oil Company) maupun perusahaan minyak Internasional (International Oil Company) yang lain, menempati peringkat rendah (low) dalam performa transparansi mereka.

Pertamina menempati peringkat tinggi (high) dalam laporan hanya pada kategori regulasi dan pengadaan barang dan jasa. Sementara dalam tiga kategori lain, yaitu pembayaran perusahaan terhadap pemerintah, operasi dan program pemberantasan korupsi, Pertamina menempati urutan rendah. Perlu ditekankan bahwa laporan ini serta analisa dan rekomendasi di dalamnya disusun berdasarkan informasi dari perusahaan yang dapat diakses oleh publik. Juga perlu dicatat, bahwa meskipun menggunakan berbagai cara untuk melibatkan perusahaan dalam semua tahapan proyek ini, sangat disayangkan ada 30 perusahaan yang tidak menggunakan kesempatan untuk me-review data yang dikumpulkan.

Meskipun laporan ini terfokus pada praktik pelaporan perusahaan minyak dan gas bumi, TI memahami bahwa perusahaan butuh beroperasi didalam suatu sistem regulasi milik pemerintah yang mendukung. Dalam konteks transparansi pendapatan, tanggungjawab tersebut dibagi antara pemerintah dan perusahaan, dimana pemerintah harus menjamin bahwa transparansi pendapatan tidak diabaikan. Konteks di mana perusahaan beroperasi, baik negara asal ataupun negara lokasi produksi, memainkan peranan penting untuk menentukan apa yang bisa dilakukan.

Dalam laporan disebutkan, bahwa beberapa perusahaan, termasuk Pertamina, mendapatkan hasil yang buruk dalam bidang performa transparansi pada kategori pembayaran ataupun program anti korupsi, disebabkan terbentur dengan kendala adanya regulasi pemerintah yang melarang penyebarluasan informasi ke publik dari perusahaan milik negara.

Dengan segala hasil yang ditampilkan Pertamina dalam laporan ini, TI-Indonesia mencatat bahwa Pertamina telah berkontribusi secara aktif dalam proses pelaksanaan survei ini. Pertamina adalah satu dari sedikit perusahaan yang bersedia melakukan proses review dan verifikasi data sementara. Dari 42 perusahaan yang dievaluasi, hanya 10 yang bersedia melakukan proses verifikasi data, dan Pertamina adalah salah satunya. Hal ini menunjukkan adanya inisiatif dari Pertamina untuk keterbukaan dan transparansi.

TI-Indonesia melihat bahwa laporan ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menciptakan tata kelola industri ekstraktif di dunia. Keterbukaan akses terhadap informasi dari perusahaan-perusahaan minyak raksasa, akan membuka ruang dialog multi pihak antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat sipil.

Dalam konteks Indonesia, TI-Indonesia melihat masih adanya hambatan menuju ke arah sana. UU Keterbukaan Informasi Publik yang baru saja disahkan oleh DPR, tidak lagi menempatkan perusahan-perusahaan pertambangan sebagai badan publik. Pada Ketentuan Umum tentang Badan Publik, juga tidak secara eksplisit dimasukkan BUMN sebagaimana pada draft awal DPR. Transparansi BUMN hanya diatur sepintas dalam batang tubuh UU itu. Karenanya, TI-Indonesia menekankan beberapa hal berkaitan dengan masalah itu:

- Mendorong pemerintah untuk segera mengimplementasikan prinsip-prinsip transparansi dalam industri ekstraktif, yang didorong oleh inisiatif multi pihak internasional Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI).
- Mendorong Pertamina, sebagai perusahaan minyak milik negara untuk mulai menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola pendapatan, dan menciptakan suasana kondusif dengan pemerintah untuk penerapan prinsip-prinsip EITI.

Press Release 1

Setelah Perundingan di Bali dan di Bangkok

For Immediate Release
22 April, 2008; 09:00

Pada peringatan Hari Bumi pada tanggal 22 April 2008 yang bertemakan ”A Call for Climate”, Pelangi Indonesia menegaskan bahwa semua pihak, terutama pembuat kebijakan, harus terlibat di dalam pengurangan laju dan dampak perubahan iklim. Masyarakat pun memiliki kewajiban untuk mendorong pemerintah membuat serta mengimplementasikan kebijakan yang mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Jakarta, 22 April 2008
Konferensi Bali Desember 2007 menghasilkan Bali Action Plan yang mengusung berbagai elemen sebagai pokok pembahasan negosiasi sampai periode komitmen pertama Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012. Bali Action Plan juga menyepakati pembentukan proses negosiasi baru dalam bentuk Ad hoc Working Groups on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA) yang akan dilaksanakan secara paralel dengan kelanjutan proses Ad hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG).

Sebagai salah satu implementasi Bali Action Plan, diadakanlah Bangkok Climate Change Talks pada 31 Maret hingga 4 April 2008. AWG-LCA bertemu untuk menyusun rencana kerja hingga tahun 2009, mengingat pada tahun tersebut AWG-LCA harus sudah memiliki usulan-usulan aktivitas yang perlu dilakukan oleh negara maju dan berkembang untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Sementara itu, AWG menyepakati bahwa mekanisme pasar berbasis proyek yang diatur di dalam Protokol Kyoto, seperti CDM, akan tetap dijalankan untuk membantu negara-negara Annex I memehui target penurunan emisi mereka. Namun mekanisme-mekanisme fleksibilitas ini berfungsi sebagai alternatif/tambahan saja, sementara negara Annex I tetap harus menurunkan emisi di dalam negerinya sendiri juga.

Proses negosiasi ini akan dilanjutkan pada bulan Juni 2008 di Bonn, Jerman.

Pada peringatan Hari Bumi pada tanggal 22 April 2008 yang bertemakan ”A Call for Climate”, Pelangi Indonesia menegaskan bahwa semua pihak, terutama pembuat kebijakan, harus terlibat di dalam pengurangan laju dan dampak perubahan iklim. Masyarakat pun memiliki kewajiban untuk mendorong pemerintah membuat serta mengimplementasikan kebijakan yang mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Terhadap perkembangan isu perubahan iklim baik di tingkat nasional maupun internasional, Pelangi Indonesia menyatakan bahwa:

1. Lahirnya Bali Action Plan merupakan langkah awal yang penting untuk menentukan arah negosiasi. Perlu diakui bahwa selama proses negosiasi di Bali yang sangat alot, terjadi berbagai perubahan di dalam draft Bali Action Plan sehingga dokumen yang akhirnya disepakati relatif lebih ‘lunak’ dibandingkan draft-draft sebelumnya. Namun dokumen ini berhasil merangkum berbagai kepentingan pihak-pihak yang berbeda sehingga negara yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto (yaitu Amerika Serikat) mau bersifat fleksibel dan menerima keputusan ini. Selain itu, Bali Action Plan juga menunjukkan pengakuan akan pentingnya teknologi dan finansial, yang selama ini menjadi isu-isu ‘terpinggirkan’ di dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

2. Keputusan di Bangkok bahwa mekanisme seperti CDM hanya menjadi kelonggaran bagi negara Annex I sangatlah krusial bagi perkembangan negosiasi perubahan iklim, termasuk yang terkait dengan isu mekanisme penurunan emisi GRK. Saat ini, banyak negara Annex I yang memanfaatkan mekanisme perdagangan karbon untuk memenuhi target penurunan emisi mereka dengan biaya murah di negara berkembang, namun upaya penurunan emisi mereka secara domestik tidaklah sepadan. Hal ini terbukti dari data UNFCCC yang menunjukkan bahwa emisi beberapa negara maju pada tahun 2005 malah meningkat dibandingkan emisi GRK mereka pada tahun 1990 (lihat data UNFCCC disini).

3. Untuk kegiatan CDM, harus dipastikan bahwa kualitas dan kuantitas CER yang dihasilkan sesuai dengan prinsip pembangunan lingkungan dan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, perlu diberlakukan batas maksimum jumlah CER yang boleh dijual sebuah negara untuk mengatasi tidak meratanya proyek CDM secara regional.

4. Saat ini tidak ada batasan maksimum penurunan emisi yang dapat dilakukan negara maju melalui berbagai mekanisme fleksibilitas termasuk CDM. Seharusnya sebagian besar upaya penurunan emisi oleh negara maju dilakukan di dalam negeri dan mekanisme fleksibilitas merupakan kelonggaran saja. Untuk itu, harus ada peraturan mengenai jumlah emisi minimal yang tereduksi secara domestik di negara Annex I sebelum mereka bisa mendapatkan tambahan penurunan emisi melalui mekanisme lain, semisal CDM.

5. Sumber dana adaptasi (Adaptation Fund) seharusnya bukan hanya berasal dari CDM, melainkan juga dari mekanisme fleksibilitas lain yang dilakukan antar negara-negara maju (International Emission Trading dan Joint Implementation). Selain itu, eksplorasi mengenai sumber pendanaan lainnya harus dilakukan berdasarkan polluter pays principle.


Pelangi Indonesia adalah sebuah lembaga nir-laba yang independen yang berperan sebagai lembaga kajian untuk mendorong kebijakan publik di bidang perubahan iklim, energi dan transportasi, dalam kerangka keadilan sosial dan keberlanjutan fungsi-fungsi lingkungan.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Suci Sundari
Manajer Program dan Informasi-Komunikasi
021-92597906
info@ pelangi.or.id

Catatan untuk editor:

AWG-LCA: Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action adalah sebuah proses negosiasi yang melibatkan negara-negara non-peratifikasi Protokol Kyoto serta negara-negara berkembang. AWG-LCA ini bertugas menentukan apa yang dapat dilakukan oleh negara-negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim untuk berkontribusi dalam upaya pencapaian tujuan utama Konvensi. Sebelum konferensi perubahan iklim di Bali, AWG-LCA disebut sebagai Dialogue.

AWG-KP: Ad hoc Working Group on Kyoto Protocol adalah sebuah working group yang dibentuk di bawah Protokol Kyoto. Working Group ini membahas komitmen negara-negara Annex I setelah tahun 2012, sehingga tidak terjadi jeda antara periode komitmen pertama (yang berakhir pada tahun 2012) dengan periode komitmen selanjutnya (setelah tahun 2012).

Annex I: adalah negara-negara maju yang dinilai memiliki tanggung jawab untuk menurunkan emisi mereka dan berada di bawah Konvensi.

Bali Action Plan: adalah sejumlah keputusan yang diambil saat COP 13 di Bali berlangsung. Bali Action Plan merupakan dokumen yang akan menjadi basis negosiasi perubahan iklim, dimana tercantum hal-hal yang perlu dicarikan solusi dengan melibatkan negara berkembang dan negara maju. Teks lengkap Bali Action Plan bisa
download disini


CDM : clean development mechanism adalah salah satu dari tiga mekanisme di bawah Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Mekanisme ini adalah satu-satunya mekanisme dimana negara berkembang dapat terlibat dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.

COP: Conference of Parties adalah pertemuan negara-negara peratifikasi Konvensi PBB untuk perubahan iklim.

Dialogue: Dialogue adalah proses pembahasan pasca 2012 yang melibatkan negara-negara non-peratifikasi Protokol Kyoto serta negara-negara berkembang. Proses ini berlangsung pada tahun 2006 – 2007.

Polluter pays principle: negara (maju) yang menghasilkan emisi gas rumah kaca harus bertanggung jawab dengan cara membiayai upaya-upaya adaptasi di negara (berkembang) yang terkena dampak negatif dari perubahan iklim.