Peluncuran Laporan 2008
Transparansi Pendapatan di Perusahaan Minyak dan Gas
Sebagai perusahaan minyak milik negara, Pertamina perlu didorong untuk menerapkan transparansi dan akuntabilitas secara konsekuen, dan menciptakan suasana kondusif dengan pemerintah untuk penerapan prinsip-prinsip Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI). Dengan demikian diharapkan pemanfaatan hasil minyak dan gas bumi, dapat dikelola secara maksimal oleh Pertamina untuk kemaslahatan rakyat banyak, sehingga kekayaan sumber daya alam ini tetap menjadi berkah dan tidak berubah menjadi ”kutukan”.
Selama ini kekayaan sumber daya alam yang dimiliki sebuah negara, tidak selalu berarti kemakmuran bagi rakyatnya. Di dalam banyak kasus, kekayaan sumber daya tersebut, yang gagal dikelola secara baik, transparan dan akuntabel, menjadi sumber bencana bagi masyarakat, yang terperangkap dalam perebutan sumber daya tersebut, yang menciptakan situasi ekonomi pemungut rente, korup, bahkan tidak jarang berujung konflik, pelanggaran HAM dan kemiskinan. Kekayaan alam menjadi kutukan akibat tidak ada tata kelola sumber daya yang baik, yang salah satu elemen pentingnya adalah transparansi penerimaan pemerintah dari sektor tersebut.
Report on Revenue Transparency of Oil and Gas Companies, produk utama dari Project Promoting Revenue Transparency, yang kami luncurkan pada hari ini, terlahir dengan dijiwai oleh semangat penerapan transparansi pendapatan negara dari sektor industri ekstraktif. Dalam konteks laporan ini, industri esktraktif meliputi minyak dan gas bumi. Di laporan ini, Transparency International (TI) melakukan evaluasi terhadap kebijakan, sistem manajemen dan performa dalam area-area yang relevan dengan transparansi pendapatan sektor hulu di 42 perusahaan minyak dan gas bumi terkemuka. Transparansi pendapatan dalam laporan ini meliputi tiga area kebijakan korporasi: pembayaran kepada pemerintah di mana perusahaan beraktifitas, operasi dan program anti korupsi perusahaan. Bagi perusahaan minyak milik negara, satu kategori lain ditambahkan, yaitu regulasi pengadaan barang dan jasa.
Salah satu perusahaan yang dievaluasi dalam laporan ini adalah Pertamina. Survei ini tidak menempatkan perusahaan minyak bangsa kita ini dalam posisi yang membanggakan. Pertamina, bersama 16 perusahaan minyak lain, baik perusahaan minyak milik negara (National Oil Company) maupun perusahaan minyak Internasional (International Oil Company) yang lain, menempati peringkat rendah (low) dalam performa transparansi mereka.
Pertamina menempati peringkat tinggi (high) dalam laporan hanya pada kategori regulasi dan pengadaan barang dan jasa. Sementara dalam tiga kategori lain, yaitu pembayaran perusahaan terhadap pemerintah, operasi dan program pemberantasan korupsi, Pertamina menempati urutan rendah. Perlu ditekankan bahwa laporan ini serta analisa dan rekomendasi di dalamnya disusun berdasarkan informasi dari perusahaan yang dapat diakses oleh publik. Juga perlu dicatat, bahwa meskipun menggunakan berbagai cara untuk melibatkan perusahaan dalam semua tahapan proyek ini, sangat disayangkan ada 30 perusahaan yang tidak menggunakan kesempatan untuk me-review data yang dikumpulkan.
Meskipun laporan ini terfokus pada praktik pelaporan perusahaan minyak dan gas bumi, TI memahami bahwa perusahaan butuh beroperasi didalam suatu sistem regulasi milik pemerintah yang mendukung. Dalam konteks transparansi pendapatan, tanggungjawab tersebut dibagi antara pemerintah dan perusahaan, dimana pemerintah harus menjamin bahwa transparansi pendapatan tidak diabaikan. Konteks di mana perusahaan beroperasi, baik negara asal ataupun negara lokasi produksi, memainkan peranan penting untuk menentukan apa yang bisa dilakukan.
Dalam laporan disebutkan, bahwa beberapa perusahaan, termasuk Pertamina, mendapatkan hasil yang buruk dalam bidang performa transparansi pada kategori pembayaran ataupun program anti korupsi, disebabkan terbentur dengan kendala adanya regulasi pemerintah yang melarang penyebarluasan informasi ke publik dari perusahaan milik negara.
Dengan segala hasil yang ditampilkan Pertamina dalam laporan ini, TI-Indonesia mencatat bahwa Pertamina telah berkontribusi secara aktif dalam proses pelaksanaan survei ini. Pertamina adalah satu dari sedikit perusahaan yang bersedia melakukan proses review dan verifikasi data sementara. Dari 42 perusahaan yang dievaluasi, hanya 10 yang bersedia melakukan proses verifikasi data, dan Pertamina adalah salah satunya. Hal ini menunjukkan adanya inisiatif dari Pertamina untuk keterbukaan dan transparansi.
TI-Indonesia melihat bahwa laporan ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menciptakan tata kelola industri ekstraktif di dunia. Keterbukaan akses terhadap informasi dari perusahaan-perusahaan minyak raksasa, akan membuka ruang dialog multi pihak antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat sipil.
Dalam konteks Indonesia, TI-Indonesia melihat masih adanya hambatan menuju ke arah sana. UU Keterbukaan Informasi Publik yang baru saja disahkan oleh DPR, tidak lagi menempatkan perusahan-perusahaan pertambangan sebagai badan publik. Pada Ketentuan Umum tentang Badan Publik, juga tidak secara eksplisit dimasukkan BUMN sebagaimana pada draft awal DPR. Transparansi BUMN hanya diatur sepintas dalam batang tubuh UU itu. Karenanya, TI-Indonesia menekankan beberapa hal berkaitan dengan masalah itu:
- Mendorong pemerintah untuk segera mengimplementasikan prinsip-prinsip transparansi dalam industri ekstraktif, yang didorong oleh inisiatif multi pihak internasional Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI).
- Mendorong Pertamina, sebagai perusahaan minyak milik negara untuk mulai menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola pendapatan, dan menciptakan suasana kondusif dengan pemerintah untuk penerapan prinsip-prinsip EITI.
Senin, 13 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar